Seminggu bersama Kesumba

Sejak dulu Bixa orellana atau Kesumba dikenal sebagai tanaman perdu penghasil warna merah yang cantik.  Buahnya seperti rambutan namun pipih, berwarna hijau sewaktu masih muda dan merah ketika sudah masak. Tanaman ini dianggap bernilai tinggi sehingga  dulu pemerintah kolonial  Hindia Belanda pernah mewajibkan para petani di pulai Jawa untuk menanam kesumba, selain juga mewajibkan menanam tarum atau nila (indigofera). Jika tarum atau nila dikenal dengan birunya yang menawan, kesumba dikenal karena keeksotisan merahnya. Baik tarum maupun kesumba sejak dulu digunakan sebagai pewarna kain batik. Di Jawa disebut kesumba keling, orang Sunda menyebutnya galinggem, di Ambon disebut taluka dan orang Bugis menyebutnya parada. Di Thailand, saya melihat buah kesumba  muda yang masih berwarna hijau namun bijinya tetap berwarna merah cantik.

Di Indonesia, kesumba digunakan juga sebagai pewarna anyaman dan sejak kecil saya mengenalnya sebagai tanaman pewarna kuku dan bahan pembuat gincu. Menurut laman frontiersin.org, biji kesumba mengandung zat carotenoid yang tinggi yaitu bixin. Di masa pra kolonial, sudah digunakan pula sebagai pewarna makanan, sebagai bumbu dan sebagai tanaman obat/penyembuhan.  Hingga kini pigmen naturalnya masih digunakan untuk keperluan industri makanan, farmasi dan kosmetik.

Tahun 2018 lalu, ketika hadir di Festival Payung Indonesia  yang berlangsung di area taman Candi  Borobudur, saya berkesempatan jalan-jalan di sekitar desa Borobudur. Banyak tanaman sumber pewarna alam di sana. Selain banyak pohon Bodhi yang daunnya berserakan, saya pun menemukan pohon kesumba yang buahnya sudah berwarna coklat tua dan berjatuhan. Dengan bantuan tukang sapu di sekitaran Candi dan teman-teman dari komunitas Kreativita Bina Hasta, kami berhasil mendapat cukup banyak buah kering kesumba yang tadinya akan dibuang. Ya melihat buah keringnya yang sudah coklat dan kotor siapa sangka bijinya yang berwarna merah matang adalah sumber pewarna yang cantik.

Tahun demi tahun berlalu, banyak kesibukan yang menyita waktu. Sampai saat akhir tahun 2020, saya sedang merapikan boks tempat kayu-kayu pewarna alam, ada satu kardus kecil berisi buah kesumba kering berwarna coklat tua. Langsung saya pisahkan dan mulai mengumpulkan bijinya yang berwarna merah tua yang cantik. Sebagian sudah lengket dengan kulit tipis berwarna coklat bronze sehinga sulit lepas. Lalu perjalanan eksperimen pun dimulai.

Diawali dengan menumbuk bijinya untuk memisahkan dengan kulit coklatnya. Namun sia-sia karena sudah terlalu lengket. Akhirnya saya biarkan saja dan mulai merebusnya dalam panci sedang dengan air sekitar 1,5 liter. Hasil yang didapat adalah warna coklat seperti rebusan daun teh hitam. Kemudian saya saring dan biji merahnya kembali saya tumbuk dan rebus dengan air yang baru. Rebusan kedua baru didapat warna merah oranye yang khas.  Jadi dari biji kesumba kering, didapat dua warna berbeda yaitu coklat dan merah oranye. Segera saya tuang ke dalam dua wadah berukuran mangkuk besar.

Kain yang telah dipersiapkan segera saya celup ke dalam wadah yang berisi dua pewarna yang berbeda tadi. Saya menggunakan kain linen dan kain Bemberg. Hasil celupannya sangat istimewa, warnanya cantik, mewah dan khas pewarnaan alam yaitu muted dan ada semburat tipis serupa motif. Dan melihat hasil celupan ini, saya jadi mengerti mengapa sejak dulu kesumba adalah salah satu tanaman primadona. Nah ini adalah foto-foto proses pencelupan dan hasilnya. Menawan bukan?


Kesumba segar (merah) dan kesumba kering (coklat)


Hasil tumbukan biji kesumba yang sudah terlalu lengket dengan cangkangnya


Air celupan pertama berwarna coklat

Air celupan kedua berwarna merah oranye


Hasil akhir kain celupan pewarnaan dari kesumba







Comments

Popular Posts