Dibalik Cerita Walk for Pigment
Kita semua, punya jiwa anak-anak dalam diri. Punya rasa keingintahuan yang besar, senang bermain dan belajar hal baru, ingin bebeas berekspresi, senang bereksplorasi dan berpetualang. Talenta atau bakat apapun yang ada sedari kecil, bila terus diasah akan menjadi sesuatu kelak ketika besar. Pun bila belum ada kesempatan mengasahnya, suatu saat bakat terpendam ini pasti akan meletup-letup, mencari dan menemukan jalannya dan perlu wadah untuk berekspresi.
Jiwa anak-anak dalam diri ini, khususnya tentang jiwa
berpetulang, lekat dengan inti kegiatan Walk
for Pigment dari Colours of
Indonesia. Sebuah gerakan untuk menguak kekayaan pigmen bumi melalui karya
seni. Untuk mengenal pigmen warna bumi, yang ada dalam tanah dan bebatuan, kita
memang harus berpetualang di alam terbuka. Area pegunungan, perbukitan, pinggir sungai,
sepanjang pinggir pantai, area pinggir danau dan tempat-tempat di alam terbuka
yang jauh dari polutan manusia. Dengan mengoptimalkan indera penglihatan (eye sight),
kita akan melihat banyak warna bumi. Dengan mengasah kepekaan atau indera perasa di dalam diri, kita akan merasakan denyut bumi
yang akan mengajak kita menyelami keindahan warna-warninya yang seringkali
berada di bawah kaki kita berpijak. Melihat
dengan rasa!
Dengan mencoba untuk melihat dengan rasa, perkenalan dengan pigmen warna bumi pun dimulai. Rasa terhubung kembali dengan bumi akan muncul. Apalagi saat di alam terbuka, biasanya kita akan teringat memori masa kecil kapan pertama kali bermain dengan tanah dan bebatuan. Memori masa kecil saya saat usia 5 tahun bermain membuat gado-gado, dimana sayurannya hasil memetik rumput atau tanaman liar di halaman dan bumbu kacangnya dengan mengambil segumpal tanah. Lalu diulek dan dipindahkan ke daun pisang, lalu pura-pura menyantapnya dengan nikmat. Hahaha…. Saat berumur 10 tahun, ada pelajaran ketrampilan membuat topeng dari tanah lempung. Kami diajak bereksplorasi di alam terbuka, turun ke parit dengan air yang sangat bersih. Parit ini bersandar pada bukit dan kami mengambil tanah lempungnya dari dinding parit. Lalu kami bawa ke kelas untuk kami bentuk dengan cetakan topeng wajah lalu kami lukis sedikit di bagian alis dengan pensil arang. Sayang tidak ada fotonya. Namun memorinya membekas hingga kini.
Pigmen bumi bukan hanya warna alam semata dalam karya. Tapi Ia akan membangkitkan keterhubungan dengan bumi, membuat kita begtu terkoneksi dengan karya kita. Karena untuk membuat karya dengan pigmen bumi, melalui Walk for Pigment kita diajak untuk berkomunikasi dengan bumi. Bagi yang terpanggil, akan ada rasa untuk terus menjelajah. Bumi pun akan membuka pintu-pintunya untuk kita berkelana menemukan keindahan warna-warninya dalam tanah dan bebatuan. Dan berbisik untuk membimbing kita mengambil atau tidak mengambilnya.
Pewarnaan dengan pigmen warna bumi telah ada sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Semua bermula dari tanah. Semua kebutuhan manusia terpenuhi oleh tanah. Mulai dari karya gambar cadas di gua-gua dan tebing-tebing pada masa pra sejarah. Sampai pada pewarnaan kulit kayu yang digunakan untuk berbagai ritual dan melindungi tubuh dari cuaca panas dan dingin. Sudah saatnya kita mengenal kembali pewarnaan pigmen bumi dan mengembangkannya untuk karya seni yang berkesadaran. Warna bumi yang melekat pada tradisi kuno peradaban bangsa-bangsa di dunia adalah kekayaan tak ternilai bagi identitas bangsa. Memuliakan warisan bumi melalui karya seni dengan pewarnaan pigmen bumi adalah kekayaan masa depan.
Comments
Post a Comment