Pewarna Alami, Tradisi dan Jatidiri Indonesia

 

Arus utama perbincangan sejarah pewarnaan alam di Indonesia bermula di abad 18 ketika saat itu tradisi membatik  yang dimiliki leluhur Nusantara khususnya di Pulau Jawa berkembang di keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai pusat pemerintahan, ilmu pengetahuan dan budaya.  Kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya seperti  Lasem, Tuban, Pekalongan, Cirebon sampai Pulau Madura. Pada masa itu pewarna yang banyak digunakan adalah coklat dan biru. Coklat atau soga diperoleh dari tanaman tingi (Ceriops tagal) sedangkan biru berasal dari tanaman tarum atau nila (Indigofera tinctoria).

Pemerintahan Hindia Belanda  pernah mewajibkan penanaman secara luas tanaman tarum ini sebagai komoditas dagang. Selain tarum, Pemerintah Hindia Belanda juga mewajibkan petani di Pulau Jawa untuk menanam Bixa orrelana (kesumba) penghasil warna merah. Jejak sejarahnya dapat dilihat di sepanjang pinggir jalan utama di Pulau Jawa saat itu, dari Jawa Timur, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan Jakarta ditumbuhi tanaman tarum dan kesumba.

Kini melalui Balai Besar Batik dan Kerajinan sudah diteliti dan dikembangkan secara luas beragam jenis tumbuhan penghasil warna alam. Saat ini ada lebih dari 100 jenis tanaman penghasil warna alam yang bisa digunakan untuk mewarnai kain.

Kekayaan wastra Nusantara lainnya adalah tenun. Diyakini usianya jauh lebih tua dari batik. Tenun Gringsing di Tenganan Bali, ragam tenun di Nusa Tenggara Barat dan Timur, utamanya  Flores, Sumba, Timor  dan kepulauan Alor, menyimpan sejarah pewarnaan alam yang juga tak kalah menarik dan sangat kuat warnanya.

Kain tenun gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut Tri Datu, yaitu kelopak pohon Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar Mengkudu (Morinda citrifolia) untuk menghasilkan warna merah dan minyak buah kemiri yang dicampur dengan abu kayu untuk warna kuning serta tanaman Taum atau tarum untuk warna biru pekat cenderung hitam. Di Nusa Tenggara Timur, akar kulit Mengkudu dan Tarum juga digunakan. Kuning didapat dari kunyit dan coklat didapat dari lumpur. Bahkan di Alor, seorang perempuan yang dikenal sebagai professor pewarna alam, yaitu Mama Sariat membuat warna hitam yang didapat dari tinta cumi-cumi , ungu dari teripang dan hijau dari rumput laut.

Kekayaan ekosistem Indonesia, yaitu hutan bakau di wilayah pantai, hutan hujan tropis yang sebagian besar mencakup wilayah Indonesia, padang rumput sabana di Nusa Tenggara Timur dan Papua hingga ekosistem sawah di daerah pertanian dan komponen pembentuk ekosistem terutama abiotik yaitu tanah dan batuan adalah sumber pewarnaan alam yang luar biasa berlimpah.

Khusus tentang tanah dan batuan, dengan ditemukannya lukisan berupa figur setengah manusia dan setengah hewan (therianthropes) di dinding gua Leang Bulu Sipong 4, di wilayah karst Maros – Pangkep, Sulawesi Selatan oleh tim  peneliti dari Badan Arkeologi Nasional dan Griffith University Australia – membuktikan bahwa leluhur kita telah menggunakan pigmen natural ochre.  Dari batuan kapur yang menempel pada lukisan gua tersebut, diperkirakan usianya mencapai 44.000 tahun. Betapa membanggakan bahwa lukisan gua tertua di dunia ada di Indonesia!

Ochre yang terdapat di tanah dan batuan adalah pigmen tertua di muka bumi. Hingga kini pigmen ini masih digunakan, umumnya untuk material bangunan. Warnanya sangat khas, yaitu merah, kuning, oranye kecoklatan, coklat kehitaman dan putih.

Pada masa lalu, pigmen tanah ini telah digunakan oleh leluhur tanah Minang untuk mewarnai kain. Dengan dikembangkannya kembali Batik Tanah Liek (tanah liat) di Sumatera Barat, membuktikan bahwa pewarnaan alam tak hanya berasal dari tumbuhan. Batik tanah liat memiliki warna bumi yang khas. Karena berasal dari bumi, pigmen ini paling sustainable dan tidak meninggalkan limbah yang mengotori bumi.

Di dunia Barat, pemanfaatan pewarna alami dari tumbuhan untuk kriya non celup serta eksplorasi ragam jenis tanah dan batuan sudah dimulai beberapa tahun terakhir. Bahkan ada yang secara spesifik meneliti kekayaan warna tanah dan menggabungkan antara science dan art menjadi sebuah karya yang indah.

Di Indonesia, memasuki tahun 2019, penggunaan warna alam yang lebih luas juga mulai dikembangkan  yaitu untuk melukis dan mewarnai di berbagai media, tidak hanya sebatas kain. Karena pewarnaan alam bukan sebatas kebutuhan sandang atau hanya untuk fashion saja. Elemen penunjang interior seperti sarung bantal, kap lampu, lukisan baik di media kanvas atau kulit kayu, perangkat interior di meja makan juga bisa menggunakan pewarnaan alam. Jadi berbincang tentang pewarna alami sangatlah luas. Bukan sekadar mencelup kain saja!


Generasi muda kian perlu mengenal ragam jenis sumber pewarnaan alam yang berlimpah di Indonesia. Pengenalan pewarnaan alam yang paling baik adalah kepada anak-anak sejak usia dini melalui kegiatan mewarnai dan melukis atau bahkan sekadar corat coret.

Sebagai pemegang masa depan, generasi muda mesti berpegang teguh pada tradisi yang merupakan jati diri bangsa. Karena masa depan adalah kekuatan masa lalu yang bersumber dari warisan leluhur Nusantara yang mengandung nilai-nilai budaya yang luhur.  Kekayaan warna alam Indonesia lekat dengan tradisi dan mesti lestari. Terus bertumbuh kembang agar jati diri bangsa tak lekang namun kian mengakar kuat.

 

Comments

Post a Comment

Popular Posts